Senin, 06 Februari 2012

MENULARI KEBAIKAN, BUKAN MENGAJARI KEBAIKAN

Dahlan Iskan: Berhentilah Berkotbah
dan Mulai Menularkan Oleh: Arminbell | 05 February 2012 |
18:42 WIB Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan
membagi kisah suksesnya sebagai
pemimpin. Ya, kisah sukses karena
pria penggemar sepatu kets itu
memang sukses. Penguasa media di
Jawa Pos Group yang punya JPNN itu, pernah menjadi CEO PLN dan
kemudian berhasil menghidupkan
kembali kata-kata Kartini; Habis
Gelap Terbitlah Terang. Tentang
buku biografinya ini, Dahlan dengan
santai bilang, “Itu bukan saya yang tulis, tapi sahabat saya Ishadi SK
yang adalah orang sukses di industri
televisi.”
Rendah hati dan tidak ’sok’ penting
meski telah jadi menteri yang jumlah
anak buahnya bejibun, Dahlan Iskan seperti pantas-pantas saja ada di
kursi itu siang tadi, di sebuah hall
besar dalam satu tayangan program
Metro TV yang dipandu Sandrina
Malakiano. Mereka sedang
membahas tentang kepemimpinan, mengambil sari penting dari praktek
kepemimpinan Nabi Muhamad
SAW. Ada nara sumber lain tetapi
fokus perhatian saya (juga mungkin
ratusan orang yang hadir di ruangan
itu dan jutaan pemirsa di rumah) adalah Dahlan Iskan.
Tampil dengan baju kemeja putih,
celana dari bahan katun dan sepatu
kets, Dahlan dengan santai dan
santun bertutur tentang apa yang
dia buat ketika menjadi pemimpin. “Selama menjadi menteri, saya
belum pernah memanggil deputi
saya ke ruang kerja saya. Kalau
saya butuh, saya akan ke ruangan
mereka. O iya, saya juga belum
pernah memencet bel di meja saya untuk memanggil bawahan. Kalau
berkasnya sudah saya tandatangani,
ya saya antar. Hitung-hitung
sekalian olahraga,” katanya yang
disambut dengan pandangan tidak
percaya dari Sandrina Malakiano di sampingnya dan saya yang
terperangah terpesona di depan
layar televisi.
Dahlan Iskan seperti
menjungkirbalikkan ‘aturan dasar’
menjadi pemimpin di negeri ini; bos harus duduk diam dan jika
membutuhkan sesuatu tinggal
pencet bel. Saya tiba-tiba ingat
sebagian besar pemimpin yang
pernah saya temui, hmmm… yang
Dahlan Iskan buat itu baru saya dengar. Lalu apa itu bisa mengubah
bangsa ini?
Bagi Dahlan, budaya (culture) tidak
bisa diajarkan. Budaya -di dalamnya
termasuk etos kerja- adalah sesuatu
yang harus ditulari dengan syarat yang seorang siap menularkan dan
yang lain membuka diri untuk
ditulari. Dalam kondisi pemimpin
ingin menularkan konsep kerja yang
dia inginkan kepada bawahannya,
maka harus terjalin interaksi yang baik bukan dalam situasi atasan
bawahan seperti yang kita jumpai
selama ini, tetapi sebagai dua pihak
yang saling membutuhkan. Budaya
itu bisa ditulari kalau kita -sumber
dan penerima- berada pada level yang sama tanpa sekat jabatan.
Begitu cara Dahlan berinteraksi
dengan orang-orang di kantornya.
Dia tidak menganggap efektif
kampanye lewat poster etos kerja di
dinding. Baginya, dia harus mampu menjadi tauladan tidak dalam
kotbah atau ceramah tetapi dalam
sikap. Apakah itu efektif? Mungkin
tidak bisa diukur dalam waktu
singkat, tetapi Dahlan optimis jika
semua pemimpin demikian bersikap, perubahan pasti terjadi, soon or
later.
Maka menurut saya bisa ditebak,
pada situasi terbalik, jika pemimpin
korupsi, situasi itulah yang dia
tularkan kepada bawahannya. O iya, Dahlan juga kabarnya tidak mau
dipanggil: Pak Menteri. “Nama saya
Dahlan,” katanya seperti dituturkan
seorang sahabatnya. Suatu waktu
ketika lebaran, Dahlan meminta
para stafnya berbaris dan dia bersama jajaran petinggi kantornya
berkeliling memberikan selamat, ini
juga baru. Dahlan tidak berkotbah
tentang kerendahan hati, tetapi
mulai memberi teladan. Soal saya
adalah, apa iya kita mau ditulari? Salam
“^_^/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar